Sunday, August 21, 2011

Lombok, Kami Girang!

*episode dua dari trilogi cerita Lombok.

Pemandangan di sekitar pelabuhan Lembar cukup berbeda dibandingkan pelabuhan Gilimanuk, Bali. Yang membuatnya berbeda adalah style rumah penduduk kebanyakan yang sangat minimalis dan seadanya. Berbeda dengan di Bali. Sesederhana apapun rumah penduduk disana, minimal mereka memiliki tegel sebagai dasarnya dan pilar penunjang yang merupakan ciri khas rumah orang Bali. Namun disini, kata sederhana itu bisa diartikan secara harfiah. SEDERHANA. Rumah dengan komposisi lantai langsung menempel dengan tanah. Dinding yang memiliki satu atau dua ventilasi dengan satu pintu. Serta atap yang menutupi tidak kalah sederhananya. Pemandangan rumah seperti itu cukup membuat kami tertegun sesaat sambil menyisiri jalanan Lembar menuju lokasi yang ditentukan. “Tunggu dulu! Apakah kalian sudah tahu kemana sekarang kalian harus pergi?!” Tentu saja pertanyaan itu muncul setelah kami menginjakkan kaki di Lombok tanpa tahu harus kemana. Sekitar sepuluh menit lalu setelah kami mulai berdiskusi tentang tujuan kami di Lombok, tiba – tiba keajaiban pun datang.

“Hey gus, mau kemana?” Tanya seorang wanita keren setengah berteriak dari dalam sebuah mobil ranger yang aku sendiri lupa merknya. Yang jelas mobil itu tipikal mobil mahal dan orang yang ada didalamnya akan segera terangkat martabat dan levelnya saat berbicara dengan delapan orang berdesak – desakan di dalam sebuah family car yang juga penuh dengan barang – barang.

Sontak kami melihat kearah suara tersebut. Terlihat dua pasang mata menyelidik melihat kami yang kebingungan. Setelah menganalisa, barulah kami menyadari bahwa mereka adalah pasangan suami istri yang berbagi kamar istirahat dengan kami ketika masih di kapal laut. Melihat dari dandanan rambut jambul modis sang istri dan mobil yang dipakai, dapatlah dikatakan mereka orang yang cukup berada. Nice car and hair too, hohoho.

“Eh, Halo bu! Iya, kami mau ke Taman Budaya NTB,” sahutku setelah keluar dari mobil. “Ada apa ya bu?”

Sesaat kemudian dia berbisik pada suaminya di belakang kemudi. “Ada nomor hape yang bisa saya hubungi? Saya cariin alamatnya.” Lanjutnya.

Aneh sekali. Ada yang mau menolong kami. Padahal kami dan pasangan itu baru saja kenal di kapal. Tidak banyak yang kami bahas bersama mereka. Kecuali alas an kami ke Lombok, kenapa kami ngeband, kenapa mereka ke Lombok juga, kenapa mereka memiliki anak yang suka ngeband juga, apa kapal laut yang bagus untuk ke Lombok dari Bali, apa makanan khas Lombok dan sebagainya. Hanya segitu. Tidak banyak. Merasa cukup curiga dengan mereka, maka kuputuskan untuk tidak memberikan no hape yang kumiliki. Lucu aja ada berita di Koran lokal Lombok besok dengan judul Delapan pemuda Bali yang terampok dengan sadis dan menjadi gelandangan karena tidak mempunyai uang untuk pulang kampung. Fufufu, kami tidak akan tertipu semudah itu tante. Sambil menyiapkan kata – kata penolakan agar mereka tidak tersinggung sembari merapikan rambut gondrong yang kumiliki dan memasang wajah sepolos mungkin, akhirnya aku berkata “Oh, boleh banget bu! Ini no hape saya, 085xxxxxxxxx.” Aaaarrggghhhh!

“Baiklah, saya jalan duluan ya. Nanti saya langsung kontak begitu alamatnya sudah saya tahu”, Kata si ibu jambul keren sambil berlalu.

Aku pun bengong dan segera balik ke mobil.

Setelah aku masuk ke mobil, kami pun berinisiatif untuk mencari sendiri alamatnya. Kabar dari ODFM, tempatnya mudah untuk ditemukan dan hanya membutuhkan waktu 20 menit. “Ikuti jalan utama menuju kota, sampai disana tanya orang aja,” ungkap pihak EO yang kami hubungi. Bagus dah. Setelah memastikan semua barang lengkap dan pengabsenan singkat, kami berdelapan pun berangkat dengan gagah berani sambil tak lupa mengalami langsung kondisi mobil goyang yang menambah riuh suasana Lembar siang itu.

Baru sepuluh menit berlalu, terdapat panggilan masuk di hp ku. Sebuah nomer asing. “Halo?”

“Yudha ya? Ini saya yang tadi,” suara ibu berjambul keren yang kukenal menyapa dari balik telepon. Cukup kaget dan membuat mataku melotot sebentar. Sambil mengatur nafas agar tetap terlihat baik – baik saja, akupun melanjutkan. “Oh, iya bu, bagaimana?”

“Saya sudah mendapatkan alamatnya. Lokasinya di bla bla bla dan ini nomer telepon tempatnya. Bisa langsung hubungi kalau kalian bingung,” dalam sekejap sang ibu keren memberikan peta singkat yang memandu kami menuju Taman Budaya NTB. Dengan arahan yang sistematis, peta yang diberikan terasa menolong. Setidaknya kami memiliki bayangan tentang tempat ini. “Terima kasih bu.” Sambil berharap dalam hati semoga ini bukan merupakan modus penculikan tipe baru.

Baru saja akan menutup telepon, terlihat di depan kami mobil sang ibu keren. Menurut prediksi kami, sepertinya pasangan suami istri itu akan pergi ke kota. Rasanya masuk akal jika melihat dandanan heboh sang ibu dengan tongkrongan riders mahal. Masa pergi ke daerah pedalaman dengan style yang wah kaya gitu? Fufufufu, aku tidak akan tertipu tante. Setelah sedikit berdiskusi dan menghasilkan keputusan yang mufakat, kami pun berinisiatif untuk mengikuti mobil tersebut. Karena lokasi yang akan kami tuju adalah daerah kota juga maka akan lebih mudah jika kami mengikuti mobil yang juga menuju kota. Fufufufu, memang jenius kami semua.

Tapi memang kodrat kami sebagai pendatang baru, ada saja bagian tersesatnya. Padahal kita sudah mengikuti mobil loh. Bisa – bisanya kita kehilangan jejak mereka. Sepertinya mereka sangat ahli. Sehingga bisa menghilangkan jejak mereka dari dengusan intel kita. Tiba – tiba hp ku berbunyi. Si ibu keren calling lagi. “Halooo bu?”

“Loh? Kalian kemana? Koq ga ikutin saya? Kita lagi menuju ke Taman Budaya juga. Nganterin kalian ke sana,” Ujar si ibu keren terdengar bijaksana.

“………………….,” bengong. Aku bengong. Semua bengong. Ternyata kita semua bengong. Sambil terus menyisiri daerah antah berantah yang ramai namun lokasinya benar – benar diluar pengetahuan kami, ternyata kita menyadari kalau telah tersesat sedari tadi. Bukannya mereka yang menghindari pantauan kami tapi lebih kepada jiwa eksperimen kami untuk lebih menentukan jalan menuju lokasi berdasarkan hitungan kancing baju. Kiri? Kancing 1, kanan? Kancing 2. 1,2,3,4,5,6,7? Yeah?! Belok kanan brow! Tancap!

Akhirnya setelah menganut pepatah “malu bertanya, sesat dijalan” dan berfikir keras menggunakan logika khas mahasiswa uzur, kamipun secara ajaib sampai dilokasi. Disana telah terparkir siaga mobil riders sang ibu keren. Setelah turun dan mengucapkan terima kasih kepada pasangan suami istri itu, mereka pun pergi dan menuju ke penginapan (katanya). Kami pun lega karena telah sampai di lokasi dengan selamat dan tidak jadi diculik oleh bapak ibu keren tadi.

Di Taman Budaya telah terlihat kesibukan menjelang dimulainya acara. Distribusi majalah sukses. Bertemu dengan panitia. Makan siang pun ditangan (yippie!). Kami berdelapan segera berpencar mencari tempat teduh untuk mengisi perut dan melepas lelah sebentar. Dari schedule diketahui bahwa kami perform paling terakhir setelah live coaching terhadap enam talent berakhir. Mumpung sudah sampai ditempat acara, kami pun mengikuti rangkaian acara yang terbilang cukup unik.



Sesi live coaching ini terbilang tumben untuk kami atau aku pribadi melihatnya. Setiap satu talent (bukan hanya band tapi juga sanggar kesenian di Lombok. Kalo di Bali lebih mirip grup tabuh ikut serta) memperlihatkan perform mereka diatas panggung. Setelah manggung singkat, mereka akan diberikan masukan baik dari moderator ataupun penonton yang menyaksikan.  Khusus diantara kami, ada Gung De sang pioneer Emoni turut memberikan masukan terhadap salah satu talent. Setelah sesi ini berakhir, giliran kami untuk perform menghibur penonton dalam Taman Budaya yang didominasi oleh peserta coaching. Cool Preparation and Nice Sound *efek membawa soundman pribadi nieh >>> girang.



Manggung hari pertama berakhir dan kami diarahkan oleh panitia untuk pergi ke penginapan yang telah disiapkan. Home stay di daerah Cakranegara. Daerah yang bisa disebut sebagai kampung Balinya di Lombok. Disini kami merasa seperti di Bali. Terlebih karena desain rumah  yang Bali beudh. Setelah mandi dan wangi semerbak, kami diundang kerumah seorang local man untuk mendengarkan arahan acara besok sembari makan malam. Jaraknya tidak terlalu jauh sehingga kami memutuskan berjalan kaki kesana. Disana kami bertemu dan berkenalan dengan beberapa kawan baru dari Lombok. Nuansa ramah dan terbuka membuat kami semakin betah disana. Untuk makan malamnya? Disuguhkanlah Nasi Puyung. Hahaha?! Puyung? Kosong dong? dan terbantahkan dengan sukseslah pemikiran kami semua. Seperti nasi jingo tapi dengan ukuran 3x lipatnya tidak lupa dengan minyak yang merembes liar dari dalam nasi. “Sepertinya aku cuma bisa makan satu buah saja,” kataku pada sanjay. Sambil manggut – manggut tanda setuju dia pun melipat bungkus nasinya yang telah bersih. Terdiam beberapa saat, kami pun terbangun untuk mengambil air. Entah setan apa yang merasuki sanjay, dia pun akhirnya mengambil nasi puyung lebih yang tergeletak tidak berdaya. Dan entah malaikat apa yang menggerakkan tanganku untuk mengikutinya mengambil nasi lagi. Sanjay bengong dan bertanya, “Katanya cuman makan satu yud?” (bersambung)

nasi puyung

2 comments:

  1. Lain kali aku boleh ikut?
    Lumayan jadi grupisnya KNTN.
    :))
    Btw, aku udah ikut kali.. *lirik EOS*

    ReplyDelete
  2. harus ikut,sha..keweh milih foto utk trilogi ini puk :))

    ReplyDelete